Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI) Komisariat Departemen Pendidikan Sejarah bakal menggelar seminar nasional pendidikan bertajuk “Revitalisasi Profesionalisme Guru” di Gedung Achmad Sanusi, kampus Bumi Siliwangi UPI, pada Sabtu, 7 Desember 2019 mendatang. Seminar menghadirkan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Supriano, M.Ed., Guru besar UPI sekaligus Ketua Tim Pengembang Kurikulum 2013 Prof. Dr. Said Hamid Hasan, MA, Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Dudung Nurullah Koswara, M.Pd., dan praktisi pendidikan internasional yang lama malang-melintang mengembangkan kurikulum Cambridge International, Ir. Lay Ai Ling.
Ketua IKA UPI Komisariat Departemen Pendidikan Sejarah Prof. Dr. Dadan Wildan Anas, M.Hum. menjelaskan, pemilihan tema dan narasumber didasarkan pada pertimbangan banyaknya guru yang belum memahami secara utuh tentang profesinya. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji kompetensi guru (UKG) yang menunjukkan bahwa guru kompeten atau guru yang lulus dengan nilai minimal 80 tak lebih dari 30 persen. Artinya, terdapat 70 persen guru yang masuk kategori tidak kompeten.
Menurut Dadan, hasil seminar akan disampaikan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim sebagai masukan dari komunitas guru dan alumni lembaga pendidikan tinggi kependidikan (LPTK). IKA Pendidikan Sejarah menilai perlu memberikan masukan secara khusus kepada menteri millenial tersebut. Bukan tanpa alasan, Menteri Nadiem merupakan sosok yang selama ini tidak beririsan dengan profesi guru. Karena itu, perlu input memadai untuk merumuskan kebijakan tentang guru.
“Hasil seminar ini akan kami sampaikan kepada Mendikbud. Kebetulan Mas Menteri sudah dengan tegas menyatakan untuk mendengarkan masukan dari pakar dalam 100 hari pertama jabatannya. Mudah-mudahan perpaduan antara kajian regulasi, kritik ahli, pengalaman di lapangan, dan benchmarking lembaga pendidikan internasional dalam seminar ini bisa menjadi salah satu pertimbangan Mas Menteri dalam membuat kebijakan,” jelas Dadan.
Lebih jauh Dadan menjelaskan, seminar akan membahas secara jernih tentang profesionalisme guru dari berbagai sudut pandang. Pertama, dari sisi kebijakan dan tata kelola guru yang selama ini berjalan. Dirjen GTK sudah menyatakan kesediaannya untuk hadir dan siap menjelaskan postur guru profesional berdasarkan ketentuan dan perundangan. Penjelasan ini penting agar para guru bisa melakukan assesment dirinya sendiri.
Kedua, lanjut Dadan, kritik atas kebijakan dan tata kelola guru di Indonesia. Termasuk apakah UKG sudah tepat untuk mengukur tingkat profesionalisme guru. Pakar kurikulum Said Hamid Hasan secara tegas menyatakan bahwa UKG tidak valid untuk mengukur kompetensi guru. Kompetensi diartikan dua hal, (1) kualifikasi yang diperoleh melalui pendidikan, (2) hasil penelitian melalui pengamatan dan wawancara. Bukan UKG.
“Prof. (Said) Hamid Hasan ini salah satu alumni senior kami di UPI. Dalam diskusi di grup percakapan, beliau termasuk yang paling keras mengkritik UKG. Nah, karena itu sengaja kami hadirkan untuk dihadapkan langsung dengan pengambil kebijakan. Alhamdulillah Prof. Hamid menyatakan siap hadir,” ungkap Dadan.
“Tentu saja kami ingin mendapatkan gambaran tentang kiprah guru di sekolah. Jangan sampai topik yang membahas nasib jutaan guru ini mengabaikan suara guru itu sendiri. Karena itu, kami secara khusus menghadirkan sosok guru keren dari SMAN 1 Kota Sukabumi, Dudung Nurullah Koswara. Biar Pak Guru Dudung yang menyampaikan potret otentik guru di sekolah. Pak Guru siap hadir,” Dadan menambahkan.
Di samping itu, untuk memberikan perspektif lebih luas tentang tata kelola guru, seminar turut menghadirkan praktisi lembaga pendidikan internasional. Dengan demikian, guru dapat melihat lebih jauh potensi pengembangan diri dengan merujuk pada praktik baik (good practice) di sekolah-sekolah unggulan.
Dihubungi secara khusus untuk keperluan konferensi pers, Dudung Nurullah Koswara menegaskan, peningkatan kompetensi guru menjadi tugas besar pemerintah. Alasannya, guru di daerah masih banyak yang belum tersentuh pelatihan secara berkala. Kesejahteraan guru juga kurang memadai. Karena itu, Dudung berharap penyiapan sumber daya manusia unggul (SDM) dalam lima tahun ke depan diawali dengan fokus membenahi kompetensi dan kesejahteraan guru.
Selain guru, Dudung yang belum lama ini didaulat menjadi salah satu ketua Pengurus Besar PGRI mengungkapkan, 70 persen dari total kepala sekolah juga belum memiliki kompetensi standar. Kompetensi jemblok tersebut disinyalir akibat rendahnya minat guru maupun kepala sekolah pada pengembangan SDM berkualitas.
Padahal, sambung Dudung, guru adalah penggerak SDM menuju Indonesia maju. Karena itu, guru harus kompeten sekaligus menjadi teladan sebagai pelaku kebudayaan. Pada saat yang sama, guru harus sejahtera dan terlindungi agar entitasnya bermartabat.
“Dalam konteks kekinian, guru sangat penting untuk memperkuat kompetensi pedagogik dan digital literacy. Selain kompetensi sosial, profesional, dan kepribadian tentunya. Guru juga harus mengajarkan ‘pembelajaran’ masa depan berbasis karakter dan keindonesiaan. Sejalan dengan itu, pemerintah harus ‘memuliakan’ guru dengan fasilitas dan layanan birokrasi yang efektif dan efisen,” tandas Dudung.
1000 Guru
Ketua Panitia Seminar Luqman Amin mengklaim sedikitnya 1000 guru dari berbagai kota di tanah air bakal menghadiri kegiatan ini. Sebagian besar peserta berasal dari Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Di luar itu, terdapat peserta dari Bangka Belitung, Maluku, Pekanbaru, Medan, dan Nusa Tenggara Timur. Para guru mendaftar melalui formulir online pada Google Forms.
“Kami tidak menyangka respons para guru demikian luar biasa. Pada mulanya panitia berencana membuka pendaftaran selama satu bulan. Kami kaget ternyata guru sangat antusias. Beberapa jam setelah pengumuman pendaftaran, kuota peserta langsung ludes. Semula kami menargetkan 250 peserta, menyesuaikan dengan kapasitas Auditorium Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA). Ternyata, dalam lima jam setelah dibuka, pendaftar sudah mencapai 331 orang. Akhirnya, pendaftaran terpaksa kami tutup,” jelas Luqman.
Di luar 331 orang pendaftar online, panitia juga kewalahan menerima pendaftar offline alias manual melalui layanan pesan WhatsApp (WA). Jumlahnya jauh lebih banyak dari pendaftar online. Setelah direkap, total mencapai 950-an pendaftar. Panitia pun sepakat mencari alternatif tempat lebih besar. Pilihan jatuh ke Balai Pertemuan UPI Achmad Sanusi. Gedung ini satu-satunya ruang konvensi yang mampu memuat hingga 1000 orang.
“Sejak semula memang kami membuka kanal offline melalui WA itu untuk mengantisipasi kesulitan guru melakukan pendaftaran online. Dan, benar saja. Para guru lebih banyak mendaftar via WA. Kami memutuskan pindah tempat karena tidak mungkin memotong jumlah peserta yang demikian banyak. Ini belum termasuk undangan yang secara khusus dihadirkan untuk berbagi pendapat tentang topik terkait. Secara keseluruhan, total mencapai 1000 peserta,” papar Luqman.
“Kami terpaksa menolak peserta. Tempat sudah tidak muat. Bahkan, ada yang memaksa untuk bisa jadi peserta meski pendaftaran sudah ditutup. Karena sudah mengunci jumlah, kami mencoba berkomunikasi dengan pendaftar dari luar Pulau Jawa. Jika mereka membatalkan, maka yang maksa-maksa tadi bisa masuk. Hasilnya, mereka kukuh untuk menjadi peserta. Bahkan, dari Maluku keukeuh akan hadir 15 orang,” Luqman menambahkan.
Sementara itu, Sekretaris IKA Pendidikan Sejarah Najip Hendra SP menceritakan, seminar profesionalisme guru tersebut merupakan lanjutan dari diskusi dalam grup percakapan WA alumni Pendidikan Sejarah. Dari debat panjang selama Agustus 2019 tersebut muncul gagasan untuk memformalkan diskusi ke dalam bentuk seminar. Alasannya, diskusi grup WA terbatas. Di luar sana banyak guru belum terpapar informasi dan sulit terlibat dalam diskursus aktual tentang profesi guru.
“Dari diskusi grup WA tersebut sepakat untuk dinaikkan menjadi diskusi terpumpun atau focus group discussion (FGD). Sempat akan dilaksanakan di Jakarta. Kebetulan ada tawaran tempat di Perpustakaan Nasional dan Museum Nasional. FGD menjadi momentum merumuskan masukan kepada presiden terpilih terkait pendidikan. Eh, sebagian alumni menilai diskusi terbatas sama-sama sulit mengakses guru secara keseluruhan. Akhirnya, kami putuskan seminar nasional,” terang Najip.
Belakangan, Presiden Joko Widodo memilih Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Walhasil, masukan pun akan dikirim kepada Mendikbud. Penyampaian hasil seminar ini menjadi sangat penting di tengah kegamangan para guru terhadap kehadiran menteri tanpa portofolio bidang pendidikan tersebut. Sebagian guru melihat dilantiknya Nadiem Makarim sebagai menteri yang membidangi pendidikan dan keguruan dianggap akan semakin menisbikan peran guru karena para guru menganggap akan adanya pengarusutamaan teknologi dalam proses pembelajaran. Padahal, sebagaimana Nadiem sudah sampaikan pada saat rapat bersama Komisi X DPR RI, teknologi hadir bukan untuk menggantikan peran guru. Pendidikan adalah apa yang terjadi dalam dua ruang, yaitu di kelas, murid dan guru, serta di rumah, orang tua dan anak. Mengutip pernyataan Menteri Nadiem, “Teknologi tidak akan mungkin bisa menggantikan koneksi itu. Karena pembelajaran terbaik itu adanya koneksi batin kuat dan bisa timbul rasa percaya.” (NJP)